Kamis, 14 Mei 2009

Jangan Menunda-nunda Beramal

Mungkin kita sering mendengar orang mengatakan:
“Mumpung masih muda kita puas-puaskan berbuat maksiat, gampang kalau sudah tua kita sadar.”

Sungguh betapa kejinya ucapan ini. Apakah dia tahu kalau umurnya akan panjang ? Kalau seandainya dia ditakdirkan panjang, apa ada jaminan dia akan sadar ? Atau justru akan bertambah kesesatannya ?! Allah berfirman yang artinya:

“Dan tiada yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Luqman: 34)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya angan-angan adalah modal utama orang-orang yang bangkrut.”
(Ma’alim fi Thariqi ‘Ilmi hal. 32)

“Apabila engkau berada di waktu sore janganlah menunggu (menunda beramal) di waktu pagi. Dan jika berada di waktu pagi , janganlah menunda (beramal) di waktu sore. Gunakanlah masa sehatmu untuk masa sakitmu dan kesempatan hidupmu untuk saat kematianmu.”
(HR. Al-Bukhari no. 6416)

Selagi kesempatan masih diberikan, jangan menunda-nunda lagi. Akankah seseorang menunda hingga apabila ajal menjemput, betis bertaut dengan betis, sementara lisanpun telah kaku dan tubuh tidak bisa lagi digerakkan ? Dan ia pun menyesali umur yang telah dilalui tanpa bekal untuk suatu kehidupan yang panjang ?! Allah berfirman menjelaskan penyesalan orang-orang kafir ketika datang kematian.
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Rabbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan. ‘Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja.”
(QS. Al-Mu’minun: 99-100)

Anugerah-Nya yang Terabaikan

Ada sebagian kaum muslimin yang masih berprinsip, baru akan memperbanyak ibadah atau mendekatkan diri kepada Allah setelah senja, setelah pensiun, atau prna tugas. Padahal pada usia berapa kita mati, kita tidak pernah mengetahuinya.

Orang yang akan melakukan perjalanan jauh pasti akan menyiapkan perbekalan yang cukup. Lihatlah misalnya orang yang hendak menunaikan ibadah haji. Terkadang ia mengumpulkan harta dan perbekalan sekian tahun lamanya. Padahal itu berlangsung sebentar, hanya beberapa hari saja. Maka mengapa untuk suatu perjalanan yang tidak pernah ada akhirnya –yakni perjalanan akhirat- kita tidak berbekal diri dengan ketaatan ?! Padahal kita yakin bahwa kehidupan dunia hanyalah bagaikan tempat penyeberangan untuk sampai kehidupan yang kekal nan abadi yaitu kehidupan akhirat. Di mana manusia terbagi menjadi: ashabul jannah (penghuni surga) dan ashabul jahim (penghuni neraka).

Itulah hakikat perjalananmanusiaa di dunia ini. Maka sudah semestinya kita mengisi waktu dna sisa umur yang ada dengan berbekal amal kebaikan untuk menghadapi kehidupan yang panjang. Allah berfirman yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Hasyr’: 18)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Hisablah diri kalian sebelum dihisab, perhatikanlah apa yang sudah kalian simpan dari amal shalih untuk hari kebangkitan serta (yang akan) dipaparkan kepada Rabb kalian.”
(Taisir Al-‘Aliyil Qadir, 4/339)

Umur Bukan Pemberian Cuma-Cuma
Waktu adalah sesuatu yang terpenting untuk diperhatikan. Jika ia berlalu tak akan kembali. Setiap hari dari waktu kta berlalu, berarti ajal semakin dekat. Umur merupakan nikmat yang seseorang akan ditanya tentangnya. Nabi bersabda yang artinya:

“Tidak akan bergeser kaki manusia di hari kiamat dari sisi Rabbnya sehingga ditanya tentang lima hal: tentang umurnya dalam apa ia gunakan, tentang masa mudanya dalam apa ia habiskan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari yang ia ketahui (ilmu).”
(HR. At-Tirmidzi dari jalan Ibnu Mas’ud radliyallahu anha. Lihat Ash-Shahihah, no. 946)

Ijtihad


Ijtihad secara bahasa berarti mengerahkan kesungguhan untuk memecahkan sesuatu perkara. Secara istilah artinya mengerahkan kesungguhan untuk menemukan hukum syar'i.

Orang yang melakukan iitihad dipersyaratkan beberapa hal, di antaranya:

1. Mengetahui dalil-dalil syar'i yang dibutuhkan dalam berijtihad seperti ayat-ayat hukum dan hadits-haditsnya.

2. Mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan keshahihan hadits dan kedhaifannya, seperti mengetahui sanad dan para periwayat hadits dan lain-lain.

3. Mengetahui nasikh-mansukh dan perkara-perkara yang telah menjadi ijma' (kesepakatan ulama), sehingga dia tidak berhukum dengan apa yang telah mansukh (dihapus nya) atau menyelisihi ijma'.

4. Mengetahui dalil-dalil yang sifatnya takhsis, taqyid atau yang semisalnya, lalu bisa menyelaraskannya dengan ketentuan asal yang menjadi pokok permasalahan.

5. Mengetahui ilmu bahasa, ushul fikih, dalil-dalil yang mempunyai hubungan umum-khusus, mutlak-muqayyad, mujmal-mubayyan, dan yang semisalnya sehingga akurat dalam menetapkan hukum.

6. Mempunyai kemampuan beristimbat (mengambil kesimpulan) hukum-hukum dari dalil-dalilnya.

Ijtihad terus berlaku sampai kapan pun dan keberadaannya termasuk dalam bagian ilmu atau pembahasan masalah ilmiah. Perlu dicatat bahwa seorang mujtahid harus berusaha mengerahkan kesungguhannya dalam mencari kebenaran untuk kemudian berhukum dengannya. Seseorang yang berijtihad kalau benar mendapatkan dua pahala; pahala karena dia telah berijtihad dan pahala atas kebenaran ijtihadnya, karena ketika dia benar ijtihadnya berarti telah memperlihatkan kebenaran itu dan memungkinkan orang mengamalkannya, dan kalau dia salah, maka dia mendapat satu pahala dan kesalahan ijtihadnya itu diampuni, karena sabda Nabi: Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan cara berijitihad dan temyata benar, maka dia mendapat dua pahala dan apabila dia ternyata salah, maka dia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim)

Taklid
Apabila ada satu perkara tidak jelas hukumnya bagi seseorang, wajib baginya tawaquf (mendiamkannya) dan dia boleh taklid karena mau tidak mau dia harus begitu. Allahazza wa jalla berfirman, Bertanyalah kalian kepada orang yang memiliki i1mu, jika kalian tidak mengetahui. (An Nahl: 43)

Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, Sikap taklid kedudukannya sama seperti makan bangkai. Oleh karena itu, apabila seseorang mampu menetapkan hukum dari dalil-dalil yang ada, tidak halal baginya bertaklid.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Nuniyah:

Ilmu itu mengetahui petunjuk dengan dalil
Tidaklah sama antara ilmu dan taklid

Taklid boleh dilakukan pada dua tempat

1. Orang awam yang tidak mampu menetapkan hukum sendiri dibolehkan untuk taklid. Dasarnya firman Allah: Bertanyalah kalian kepada orang yang memiliki ilmu pengetahuan, jika kalian tidak mengetahui. (QS. An Nahl: 43)

Diutamakan bertaklid kepada orang yang berilmu dan wara' (bisa menjaga diri dari perkara-perkara yang akan menjurus kepada hal-hal yang diharamkan. Ed.). Apabila didapati ada dua orang yang sama dalam keilmuannya, maka yang dipilih yang paling baik akhlaknya.

2. Seorang mujtahid yang menemukan perkara baru yang harus segera diputuskan, yang tidak mungkin dia menelitinya, maka pada saat itu dia boleh taklid.

Jenis-Jenis Taklid
Taklid itu ada dua macam, yaitu taklid umum clan taklid khusus.

A. Taklid Umum
Taklid umum ialah berpegang dengan madzhab tertentu dalam semua perkara agamanya, karena ketidakmampuannya menetapkan hukum sendiri.

Dalam masalah tersebut ulama berselisih pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat wajib taklid seperti itu, karena merupakan kesulitan besar bagi kalangan mutaakhirin bila mereka dituntut untuk berijtihad. Di antara mereka ada yang berpendapat haram taklid seperti itu, karena hal itu sama saja dengan berhukum secara tetap kepada seseorang selain Nabi .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiya rahimahullah berkata, “Pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam setiap perintah dan larangannya menyelisihi ijma' ulama. Adapun kalau sekadar membolehkan, dalam hal ini para ulama berbeda perndapat”

B. Taklid Khusus
Taklid khusus ialah mengambil pendapat tertentu dalam perkara-perkara tertentu. Hal ini diperbolehkan apabila seseorang tidak mampu menetapkan kebenaran dengan cara berijtihad sendiri, baik karena tidak mampu sama sekali atau dia mampu tetapi dalam keadaan tertentu mengalami kesulitan besar.

Kumpulan Artikel Elektronik

(media@isnet.org)

Komite Media menyediakan acuan keislaman secara online, termasuk didalamnya adalah kumpulan terjemah al-Quranul Karim dalam situs ini. Kumpulan terjemah al-Quran dalam bahasa Indonesia ini merupakan versi online dari terjemah al-Quran yang ada di Indonesia antara lain terjemahan dari Departemen Agama dan terjemahan dari Disbintalad TNI Angkatan Darat. Selain terjemah al-Quran dalam situs ini akan ditayangkan pula tafsir-tafsir terkenal yang telah beredar bukunya di pelosok Indonesia.

Versi online dalam situs Komite Media Isnet ini bukan merupakan kerjasama resmi dengan departemen maupun lembaga yang telah disebutkan di atas. Versi online ini merupakan upaya untuk menyediakan acuan terjemah al-Quran dalam bahasa Indonesia untuk komunitas pengguna internet.

Dalam mengalihragamkan dari bentuk buku cetak menjadi bentuk online, kami, Komite Media Isnet, berusaha untuk seteliti mungkin, namun keterbatasan kami sebagai manusia, sangat mungkin dalam versi online ini masih terdapat beberapa kesalahan. Mohon masukan anda semua mengenai koleksi al-Quran dalam situs ini.

Wanita dalam Islam


Articles of Islam from other sites

Faham Kemahdian

Islam


Pendapat Mutakhir


Gaji dan Upah adalah Harta Pendapatan
Mencari Pendapat yang Lebih Kuat tentang Zakat Profesi
Kelemahan Hadis-hadis tentang Ketentuan Setahun
Hadis dari Ali
Hadis dari Ibnu Umar
Hadis dari Anas
Hadis dari Aisyah
Hadis-hadis Tentang "Harta Penghasilan"
Ketidak-sepakatan para Sahabat dan Tabi'in dan Sesudahnya
tentang Harta Benda Hasil Usaha
Harta Penghasilan Menurut para Sahabat dan Tabi'in
1. Ibnu Abbas
2. Ibnu Mas'ud
3. Mu'awiyah
4. Umar bin Abdul Aziz
Para Ulama Fikih Lain dan Kalangan Tabi'in dan Lainnya
Perbedaan Mazhab Empat dalam Masalah Harta Penghasilan
Memilih Pendapat yang Lebih Kuat tentang Pengeluaran Zakat
Pendapat Masa Kini
NISAB MATA PENGHASILAN DAN PROFESI
Tinggal Satu Persoalan lagi
Bagaimana Cara Pengeluaran Zakat Harta Penghasilan?
Pengeluaran Zakat Pendapatan dan Gaji Bersih
Perhatian
BESAR ZAKAT PENGHASILAN DAN SEJENISNYA